Bayangan dunia dan akhirat pasti ada di hati setiap hamba, persis
seperti dua sisi timbangan,
apabila salah satu dari keduanya lebih berat maka sisi yang lainnya akan
terangkat
Saudaraku, dalam menjalankan misi kotornya
mengelabui dan memperdaya manusia, nafsu dan syetan sering menggunakan “kedok”
kesenangan dunia. Harapannya adalah agar manusia jadi terlena dalam buaian dan
belaian dunia uthopis yang sesungguhnya hanya menjanjikan kenikmatan
fatamorgana belaka, manusia dibuat lupa bahwa hidup di dunia hanyalah
sementara, mereka lupa bahwa sesudah di dunia ini ada “dunia” lain, itulah
dunia akhirat, tempat dimana manusia harus mempertanggung-jawabkan semua yang
ia perbuat selama hidup di dunia ini.
Begitulah, dunia yang sesungguhnya tidak ada
nilai dan harganya ini betul-betul telah diselimuti oleh syetan dan nafsu
dengan selimut indah, berhiaskan pernik-pernik keindahan, sehingga tiadalah
seorang manusia memandang dunia hanya sebatas selimutnya saja, kecuali di sana
ia akan menemukan keindahan magnetik yang mempesonakan, yang membuatnya tak
mampu, atau tepatnya tak mau, bergeming walau satu incipun dari aura keindahan
(nisbi-pen) yang dipendarkan oleh selimut dunia. Saat itulah dunia akan
menelikungnya dan menjebloskannya ke dalam belenggu ketergantungan kepada nafsu
syahwati dengan kwalitas sangat rendah, kemudian menyeretnya menjadi
budak-budak dunia.
Alloh Ta’ala berfirman : “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan
hawa nafsu sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pelindungnya ?”
(QS. Al Furqan : 43 )
Hamparan selimut dunia yang dibentangkan oleh syetan dan nafsu ini
sebenarnya juga punya tujuan lain, yaitu memalingkan “wajah” manusia, khususnya
hamba-hamba beriman, dari semula bertawajjuh (menghadap) kepada Alloh menjadi
berpaling kepada kesemuan dunia, sehingga dunia berubah menjadi “tirai” penutup
yang menghalang-halangi seorang mukmin untuk bisa menikmati keindahan Cahaya
Alloh lewat pertemuan-pertemuan Ilahiyah melalui shalat, dzikir dan ibadah
lainnya, yang aura keindahannya jauh lebih mempesonakan ketimbang keindahan
(semu-pen) selimut dunia.
Saudaraku, ketika seorang mukmin berpaling dari Keindahan Cahaya Alloh, sumber
hidayah dan ketenangan hakiki kepada keindahan semu selimut dunia yang hanya
akan melahirkan kesesatan dan ketenangan semu, berarti ia telah merenggut
dengan tangannya sendiri, hidayah dan ketenangan hakiki ini kemudian
mencampakkannya ke dalam sampah kehidupan, untuk kemudian dia kenakan kesesatan
dan ketenangan semu yang sarat kepalsuan dan tipu daya.
Saudaraku, tidak demikian halnya dengan seorang mukmin yang selalu dalam
keadaan “terjaga” (yaqdhah), ia senantiasa berusaha “menyembunyikan” diri,
menghindar dari terpaan kilau dunia yang setiap saat menyergap dirinya. Untuk
itu, ia pun akan merajut “tirai” dalam corak yang berbeda, yang akan ia pakai
untuk membiaskan pesona keindahan selimut dunia, sehingga tidak sampai
memalingkannya dari pesona keindahan Cahaya Alloh yang telah memendar ke
seluruh sum-sum sukmawinya.
Dia akan merajut “tirai” itu dengan menggunakan benang-benang zuhud dan
jarum-jarum qana’ah yang kemudian dia percantik dengan pernik-pernik
kesederhanaan.
Dengan zuhud ia akan “menyerahkan” kembali dunia yang telah diberikan kepadanya
kepada Yang Memberinya, yaitu Alloh Sang Pemberi rizki. Kalaupun ia ingin
memakai dunia yang ia miliki, maka ia akan memakainya hanya beberapa tetes
saja, sebatas ia memerlukannya, itu pun tidak karena ingin memanjakan nafsunya,
namun semata-mata karena memenuhi perintah-Nya. Baginya rizki dari Alloh
bukanlah dari apa yang ia terima, akan tetapi dari apa yang bisa ia lakukan
untuk memperbaiki hubungannya dengan Alloh dan dari apa yang bisa ia berikan
untuk membahagiakan sesama.
Dengan qana’ah ia akan merasa cukup hanya dengan beberapa tetes dunia yang
membasahi kerongkongan kehidupannya. Ia tidak ngoyo, tidak pula berambisius,
karena “ambisi” dia adalah akhirat.
Dan dengan pernik kesederhanaan, ia akan hidup jauh dari gemerlap glamourisme,
dan menghindar dari gaya hidup hedonistik, yang memanjakan hawa nafsu. Setiap
kelebihan harta yang dimilikinya lebih suka ia “simpan” di kantong-kantong
fakir miskin, yatim piatu, masjid, madrasah, pesantren, da’wah dan lain
sebagainya.
Dengan demikian harta dan kedudukan dunia tidak membuatnya lalai dari Alloh,
sehingga tak sejumputpun kebahagiaan hakiki (yang ia renda bersama-Nya) akan
hilang tercuri.
Makna Zuhud.
Zuhud adalah berpalingnya keinginan terhadap sesuatu kepada sesuatu yang
lain yang lebih baik. Atau berpindah dari satu keadaan yang tak bernilai menuju
ke keadaan yang bernilai.
Yunus bin Maisarah berkata : “Zuhud terhadap dunia itu bukanlah
mengharamkannya, bukan pula membuangnya. Tapi zuhud terhadap dunia berarti kamu
yakin dan percaya kepada apa yang ada dalam Genggaman Alloh daripada apa yang
ada dalam genggamanmu. Juga menyimpan keadaan dan sikap yang sama, baik ketika
engkau mendapat musibah atau tidak, baik ketika ada orang yang memuji atau
mencelamu.”
Abu Sulaiman berpesan zuhud itu ada tiga macam :
(Pertama) Hendaklah kamu lebih yakin dan percaya kepada apa yang ada di Tangan
Alloh dari pada ada di tanganmu. Ini adalah buah dari keyakinan yang benar lagi
kuat.
(Kedua) Hendaklah kamu lebih mengharapkan pahala atas musibah yang sedang
menimpa ketimbang mengharap pahala atas anugerah kenikmatan yang ada pada
dirimu.
(Ketiga) Hendaklah kamu memandang sama terhadap orang yang memujimu dan
mencelamu.
Ali Radhiyallohu ‘anhu berkata : “Barang siapa zuhud terhadap dunia maka akan
terasa ringanlah segala musibah yang menimpa.”
Sebagian ulama salaf bertutur : “Kalaulah bukan karena musibah dunia yang
menimpa, pastilah kita memasuki akhirat dalam keadaan pailit.”
Fudlail bin ‘Iyadh berkata : “Pondasi zuhud adalah ridla terhadap segala yang
datang dari Alloh dan qana’ah terhadap pemberian-Nya.
Abu Hazim pernah ditanya : “Apa saja harta milik Anda ?” Beliau menjawab:
“Hartaku ada dua, yang dengan keduanya aku tidak pernah takut menjadi fakir
selama saya memilikinya, yaitu tsiqqah (yakin dan percaya) kepada Alloh dan
tidak mengharapkan apa yang dimiliki oleh sesama manusia.”
Tingkatan Zuhud
Pertama, orang yang zuhud terhadap dunia tetapi ia masih menginginkannya,
tapi ia berusaha keras, bermujahadah, menahan diri terhadap keinginan duniawi.
Kedua, orang yang zuhud terhadap dunia sebagai bukti ketaatannya kepada Alloh.
Ia melihat dunia itu sebagai sesuatu yang suram bila dibanding dengan apa yang
ada di Sisi Alloh yang ingin diraihnya.
Ketiga, orang yang zuhud terhadap dunia karena ingin mendapatkan kemuliaan di
Sisi-Nya, dan ia zuhud dalam kezuhudannya tersebut. Dia seperti orang yang
membuang sampah sambil mengambil mutiara, atau seperti orang yang ingin
memasuki istana raja tetapi dihadang oleh seekor anjing di depan pintu gerbang.
Lalu ia melemparkan sepotong roti untuk menyibukkannya. Akhirnya ia pun bisa
masuk menemui sang raja.
Begitulah, syetan adalah anjing yang menggonggong di depan pintu gerbang menuju
Alloh, menghalangi setiap manusia untuk memasukinya, padahal pintu itu terbuka,
hijabnya pun tersingkap.
Dunia ini ibarat sepotong roti. Siapa yang ingin menggapai kemuliaan Alloh,
Sang Maha Raja, maka bagaimana mungkin masih memperhitungkannya, apalagi
mendekapnya? Ia pasti akan segera “melemparkan” roti tersebut, agar ia bisa
sampai ke Hadirat-Nya, menggapai maqam terpuji (maqamam mahmuda).
Ya Alloh, cukupilah hidupku dengan rizkiMu yang halal, jauhkan diriku dari
sesuatu yang Engkau haramkan, curahkan anugrahmu kepadaku, jauhkan aku dari
meminta sesuatu kepada selain Engkau.
Ya Alloh, jauhkan kami dari fitnah dunia. Jangan Kau biarkan dunia bersemayam
di lubuk hati kami. Jangan Kau biarkan dunia menipu dan memperdaya kami yang
membuat kami berpaling dan melupakan-Mu.
Ya Alloh, titipkan kepada kami dunia yang membuat kami menjadi semakin zuhud,
qana’ah dan sederhana, semakin dekat dengan-Mu dan semakin bermanfaat buat
sesama
Sumber : http://www.darushshalihat.org